« »
« »
« »
Get this widget

Selasa, 16 April 2013

Komunitas Iket Sunda; Identitas, Popularitas, dan Integritas Budaya

Baju kampret hitam, celana kolor hitam, tutup kepala "iket" dan sarung melingkar di bahu. Merupakan pakaian khas kesundaan zaman "baheula" yang kini eksistensinya hampir punah dan dicoba dihidupkan kembali oleh beberapa tokoh dan budayawan Ciamis Selatan dan sekitarnya. Busana ini jika dilihat dari sisi fisik dan kepraktisannya, memang sangat nyaman untuk dipake, berbahan dasar kain halus dengan ukuran cukup kedodoran. Hal ini dapat memberikan nuansa luwes untuk bergerak bagi si pemakainya. Sedangkan dilihat dari sudut kesopanan, pakean adat Sunda ini cukup beradab, karena dengan ukuran yang serba longgar, artinya tidak memamerkan lekuk tubuh si pemakainya. 

Apabila ditinjau dari sudut pandang yang lebih mendalam dan makna filosofis dari pakean adat Sunda ini, kita bisa memperhatikan tokoh pewayangan khas Sunda yang biasa mengenakan busana Sunda, yakni si Cepot. Tokoh Cepot atau Sastrajingga adalah tokoh pawongan Pandawa yang selalu berusaha untuk membuat orang lain menghadapi kehidupan ini dengan penuh optimis dan riang gembira. Dia melambangkan tokoh yang sederhana, gigih memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Meskipun ia sadar bahwa dirinya memiliki fasilitas hidup yang mewah, tapi demi membela kebenaran dan memerangi kejahatan di dunia, maka ia rela melakukan "penyamaran" nyumput buni di nu caang, negrak bari teu katembong (bersembunyi di tengah-tengah keramaian).
Inilah identitas budaya Sunda yang seyogyanya diperankan oleh komunitas iket Sunda. Namun demikian, apabila komunitas ini mengehendaki untuk mengambil peran dalam posisi pemerintahan, maka mau tidak mau seorang "Cepot" harus berganti baju. Hanya saja dalam cerita pewayangan, jabatan "Cepot" itu tidak akan sampai menjadi "Raja". Paling tinggi jabatannya adalah Patih. (telaah kembali kisah "Dawala jadi Raja". Di mana pada saat Semar mengajak dua putranya, Cepot dan Dawala naik ke Sawarga Maniloka dengan tujuan untuk menelusuri asal pokok sebuah huru-hara yang terjadi di alam Marcapada. Ternyata, di kerajaan Sawarga Maniloka ditemukan bahwa pucuk pimpinannya sedang "berkamuplase" meninggalkan jasad kasarnya saja, sedangkan ruh sukma halusnya sedang pergi. Jasad kasar tersebut adalah milik Hiyang Otipati Jagatnata (Batara Guru) dan Patih Resi Narada. Menyaksikan hal tersebut, maka Semar menyuruh Dawala mengambil posisi jadi Raja, sedangkan Cepot menjadi Patih. Itupun terjadi, jika Dawala dan Cepot harus berani melepaskan baju penyamarannya.
Sekarang, yang menjadi pertanyaan: Apakah visi dan missi yang diemban oleh komunitas iket Sunda? Karena kita khawatir jika komunitas ini hanya diperalat oleh kepentingan elite demi memuluskan tujuan ambisi pribadi. Setelah tujuan pribadi tercapai, maka timbul istilah "kacang lupa kulit"

Tidak ada komentar: