« »
« »
« »
Get this widget

Senin, 19 Maret 2012

Ketika Masyarakat Indonesia Enggan Menjadi RT

Di sebuah kampung negara Antahbrantah dikisahkan bahwa di lingkungan kelompok masyarakat, sang kepala suku mengumumkan kepada warganya bahwa ia akan mengundurkan diri dari jabatan kepala suku. Sontak para pemuka dan tokoh masyarakat yang ada berdiskusi kecil untuk segera melakukan sebuah musyawarah untuk memilih dan mengangkat kembali kepala suku yang baru. Dari hasil diskusi tersebut dapat diambil sebuah kesepakatan bahwa musyawarah akan dilaksanakan pada malam hari, mengingat para penduduk kebanyakan memiliki kesibukan di waktu siang. Undangan pun segera disebar, hingga tibalah saatnya waktu musyawarah dilaksanakan. Sebagai tanda panggilan kepada penduduk, di balai pertemuan tergantung sebuah kentogan. Seorang petugas punggawa segera memukul kentongan tersebut secara simultan dengan irama yang khas. 
Setelah menunggu sekian lama, yang hadir ke tempat pertemuan adalah tokoh masyarakat yang menyebarkan undangan dan petugas punggawa. Sedangkan setiap kepala keluarga seluruhnya diwakili oleh ibu-ibu. Tokoh pembuat undangan tersebut bertindak sebagai ketua panitia. Sang ketua panitia mengecek kehadiran masing-masing tugu atau kepala keluarga. Dari 33 tugu yang ada ternyata sudah hadir 32 tugu atau sudah sampai pada angka qourum, akan tetapi didominasi oleh kaum ibu.  Ketua panitia bertanya kepada ibu-ibu yang hadir, "Pada kemana bapak-bapaknya, mengapa yang hadir ibu-ibu semua?" Para ibu mengungkapkan alasan yang bervariasi. Alasan itulah, inilah dan sebagainya. 
Sang panitia kebingungan, maka terpaksa musyawarah pun terpaksan  dibatalkan. Karena untuk mengangkat seorang kepala suku di tingkat paling bawah lebih pantas dijabat oleh seorang laki-laki. Mengingat tugas-tugas yang harus dilaksanakan sangatlah berat, di antaranya memungut iuran, pajak, memimpin kerja bakti, menjadi panitia hajatan, motivator kegiatan sosiali keagamaan, menjadi pusat pengaduan masyarakat paling bawah, hingga dibentak-bentak dan disemoohkan oleh warganya sendiri. Sedangkan tunjangan kesejahteraan yang ia terima sangatlah tidak jelas.
Barangkali termasuk orang yang paling bodoh jika ada yang mau mendapat jabatan kepala suku seperti ini. Sementara pihak pemerintahan di atasnya seperti Adipati, Tumenggung, hingga Raja tidak pernah memperhatikan nasib kesejahteraan sang kepala suku ini. Sedangkan kapasitas mereka berada pada ujung tombak jalannya roda pemerintahan. Oleh karena itu, jelas sekali tidak akan pernah ada orang yang mau memangku jabatan kepala suku seperti ini.