« »
« »
« »
Get this widget

Sabtu, 28 Mei 2011

Makna Bulatan Tanah sebagai Sandaran Mayat dalam Lahat

Tanah yang dibulat-bulat berdiameter lebih kurang 10 cm yang diperuntukan bagi sandaran mayat saat diletakan pada liang lahat dalam istilah bahasa Jawa disebut "gelu", dalam bahasa Sunda disebut "gegelu". Bulatan tanah ini meskipun dalam aturan fikih tidak termasuk hal yang prinsip, akan tetapi dalam praktiknya di masyarakat menjadi sesuatu keniscayaan. Sebagaimana di anataranya dipaparkan dalam kitab Fathul Qarib. Dalam kitab ini hanya mengatur keutamaan jika membuat liang lahat itu pada latar bawahnya harus digali menyerupai lekuk dan bentuk tubuh mayat. Arah penggaliannya yang lebih utama bila menyosok ke bagian depan liang lahat, atau bisa juga di tengah-tengah liang lahat.

Penggalian tanah yang dibentuk seukuran fostur tubuh mayat tersebut dimaksudkan agar pada saat mayat diletakan pada lahat tersebut tidak berubah posisi. Hal ini sangat penting mengingat posisi setiap mayat muslim harus selalu menghadap ke arah kiblat. Oleh karena itu, ketika dalam kondisi darurat apabila pemakaman harus dilakukan di tengah samudera maka posisi pemakaman dilakukan secara berdiri. Caranya, pada kaki mayat diberi pemberat supaya tidak berubah dan dihadapkan ke arah kiblat. 
Lebih lanjut dalam Kitab Fathul Qarib disebutkan bahwa apabila ada kesalahan dalam memposisikan penghadapan mayat, mislanya karena faktor ketidaktahuan orang yang menguburkan mayat atau karena faktor lupa dan lain sebagainya, maka kuburan mayat tersebut wajib digali kembali sekiranya kondisi mayat belum hancur, untuk selanjutnya dihadapkan ke arah kiblat.

Makna Filosofis Gelu atau Gegelu
Gelu atau gegelu yang umumnya berjumlah lima buah berfungsi sebagai pengganjal mayat atau sandaran mayat agar posisinya tetap teguh menghadap ke arah kiblat tidak dikhawatirkan berubah posisi selama mayat tersebut belum hancur.
Dalam filosofi para wali, sebagaimana diungkapkan oleh Kanjeng Sunan Kalijaga bahwa istilah "gelu" itu berasal dari istilah bahasa Jawa "gelu" artinya "telu" atau tiga. Munculnya angka tiga ini sebagai pengejawantahan dari makna hadits Nabi Muhammad SAW yang menyatakan : 

اِذَامَاتَ ابْنُ آدَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ اِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، وَوَالِدٍ صَالِحٍ يَدْعُ لَهُ (الحديث)

"Apabila anak Adam meninggal dunia, maka akan terputus amalnya, kecuali tiga hal, yakni : 1) shadaqah jariyah (shadaqah dengan barang yang nilai manfaatnya tahan lama, mengalir terus pahalanya), 2) ilmu yang bermanfaat, 3) anak yang shalih yang senantiasa mendoakan orang tuanya".

Tiga hal inilah yang selanjutnya dijadikan amal andalan bagi setiap muslim ketika ia meninggal dunia di saat seluruh harapan sudah berakhir. Dengan demikian kiranya patut kita mengambil teladan bagaimana para wali itu memiliki metode dakwah yang mengandung makna filosofis yang sangat mendalam.
Setiap manusia ketika sudah masuk pada gerbang kematian maka yang menjadi penolong kehidupannya di akhirat kelak adalah bersandar pada amal perbuatannya.  Jangankan nanti kelak di hadapan pengadilan tertinggi "mahkamah rabbaniyah" di akhirat, melainkan di dalam kubur saja setiap manusia sudah dirundung penuh kebingungan dan kenestapaan. 
Melalui gelu atau "telu" ini kiranya kita patut mendalami dari makna yang disimbolkan tersebut. Karena itu dalam sebuah hadits dikatakan bahwa setiap anak manusia yang dilahirkan ke dunia ini dalam keadaan telanjang, demikian pula saat ia kembali dalam keadaan telanjang pula. Adapun ia dibungkus kain kafan hanyalah sebuah penghormatan akan tubuh manusia belaka. Dalam hal ini sungguh tidak ada perbedaan antara orang kaya dan miskin, pejabat maupun rakyat, karena di hadapan Allah SWT menempati posisi yang sama. Sebab yang paling mulia di hadapan-Nya hanyalah mereka yang paling takwa.
Mumpung masih ada kesempatan, marilah kita perbanyak amal-amal yang telu/tiga tersebut dengan penuh rasa keyakinan dan keikhlasan.

Tidak ada komentar: