« »
« »
« »
Get this widget

Sabtu, 13 Maret 2010

Larangan Membatalkan Amal

Sumber : Tafsir "Rawa'iul Bayan fi Tafsiri Ayatil Ahkam" oleh Imam Ash-Shabuni

Firman Allah :
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman ! Taatlah kepada Allah dan Taatlah kepada Rasul dan janganlah kamu membatalkan amal-amalmu. Sesungguhnya orang-orang yang kufur dan menghalangi (manusi) dari jalan Allah kemudian mereka mati dalam keadaan kafir maka sekali-kali Allah tidak akan memberikan ampunan kepada mereka. Dan janganlah kamu merasa lemah dan minta damai, padahal kamulah yang lebih unggul dan Allah (pun) beserta kamu dan Dia sekali-kali tidak akan mengurangi (pahala) amal-amalmu.
(QS. Muhammad 47 : 33-35)
  1. Menurut Muhammad bin Nashr al-Maruzi dalam Kitab Ash-Shalah mengatakan bahwa sahabat-sahabat Rasulullah SAW berpendapat bahwa dosa tidak membahayakan iman sebagaimana amal tidak ada artinya bagi seseorangyang berbuat syirik, sampai turun Firman Allah : “Taatlah kepada Allah ...
  2. Apakah gerangan yang dapat membatalkan amal itu ? Jawabnya adalah dosa-dosa besar dan perbuatan keji.
  3. Maka di kalangan sahabat menyebar rumor “setiap orang yang berdosa besar dikatakan : Binasalah dia” turunlah ayat : Innalloha la yaghfiru ayyusroka bihi wayaghfiru ma duna dzalika limayyasya-u (QS. An-Nisa’ : 48) Setelah ayat ini turun, para sahabat tidak pernah berkata gegabah terhadap orang yang berbuat dosa.
  4. Tafsir: pada kata wa athi’urrasul. Wawu di sini adalah wawu huruf athaf. Artinya “dan” athaf musabbab kepada sabab. Berarti Sebab menaati Allah menjadi sebab keharusan menaati Rasulullah.
  5. Wawu tidak seperti pada QS 4 : 4. di sini wawunya bermakna “au” artinya “atau”. 
  6. Wa la Tubthilu a'malakum menurut Fakhrur Rozi maknanya bermacam-macam :
  • Lestarikanlah amal-amalmu dan janganlah kamu menyekutukan Allah, karena menyekutukan Allah dapat merusak amal-amalmu. Firman Allah : La-in asyrokta layahbathonna ‘amalaka : “Jika kamu menyekutukan Allah niscaya akan hapuslah amalmu” (QS. Az-Zumar : 65)
  • Janganlah kamu membatalkan amal-amalmu dengan menolak mentaati Rasul. Suatu saat Rasul menyuruh Ali membangunkan seseorang yang sedang tidur di masjid untuk melakukan shalat. Ali berkata : “bukankah orang yang pertama kali menemukan ladang kebiakan harus berlomba-lomba ? Kenapa Rasul menyuruh saya ?” Rasulullah menjawab : “Orang tidur kesadarannya hilang, aku mengkhawatirkan karena kesadarannya itu ketika aku bangunkan dia menolak aku sebagai Rasul. Maka orang yang menolak perintah Rasul artinya ia telah kufur”.
  • Janganlah kamu membatalkan amal-amalmu, dengan menyebut suatu budi baik terhadap orang lain. Firman Allah :Yamunnuna ‘alaika an aslamu. Qul la tamunnu ‘alayya islamakum : “Mereka merasa telah berjasa kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah : Janganlah kamu merasa telah berjasa kepadaku dengan keislamanmu itu.” (QS. Al-Hujurat : 17).
- Polesan agama dijadikan alat untuk memperoleh jabatan
- Agama dijadikan kedok penipuan
- Berlindung dari kejaran hukum dengan dalih agama

Perbedaan pendapat di kalangan para ulama, tentang membatalkan amal :
a) Al-Hasan : perbuatan-perbuatan durhaka dan dosa-dosa besar.
b) Atha’ : bimbang dan ragu dalam beriman, nifaq
c) Ibnu Abbas : riya’ dan sum’ah (memperdengar-dengarkan amal baik kepada orang lain) sum’ah beda dengan syuf’ah.
d) Muqatil : menyebut-nyebut jasa baik kepada orang lain (riya, pamer)
e) Ulama lain : ujub (mengagumi kebaikan diri sendiri).
7. Kalimat : Wa antumul a'launa: “padahal kamulah yang lebih unggul”. Sebuah pelajaran berharga bahwa anggapan kasat mata apabila dua orang terjadi perselisihan, maka orang yang pertama kali mengakui kesalahan dan mminta damai, islah, meminta maaf dianggap TIDAK PUNYA HARGA DIRI. Justru di hadapan Allah ialah orang yang paling mulia.
Adapun maksud dari ayat di atas adalah : kamu lebih unggul daripada orang kafir, karena kamu orang-orang beriman, meskipun sewaktu-waktu kamu dapat dikalahkan oleh mereka :
Walillahil ‘izzatu walirrasuli walilmu’minin : “Dan kekuatan hanya bagi Allah, RasulNya dan bagi orang-orang yang beriman”. (QS. Al-Munafiqun : 8)
8. Kalimat : Wa layyatirakum a'malakum : “dan sekali-kali Dia tidak akan mengurangi (pahala) amal-amalmu”. Menurut Fakhrur Raozi adalah merupakan suatu janji, ketika Allah berfirman : Wallahu ma'akum : “sedang Allah beserta kamu” maka menjadi jelaslah bahwa pertolongan itu datangnya dari Allah, bukan dari mereka.
- keselamatan manusia hakikatnya bukan jasa baik manusia
- bukan karena grasi, amnesti dsb.
- Keberuntungan bukan dari dewa “keberuntungan”
Bahwa taufiq/ pertolongan Allah di dunia bukan KREDIT-an dari pahala seseorang. Jadi pertolongan di sini berdiri sendiri, sedangkan urusan pahala lain lagi.
- LAIN HALNYA dengan manusia pelit, kadang memberi pinjaman/ kebaikan syaratnya gaji dipotong
- Tolong menolong pake tawar menawar : “boleh aku tolong kamu, asal ...” ini artinya “riswah” –KKN.
- Ta’awanu ‘alal birri wattaqwa wala ta’awanu ‘alal itsmi wal’udwan. Memang tolong menolong di sini memakai kalimat “fi’il” makna “musyarokah”, tapi bukan berarti pakai syarat perjanjian sekehendak manusia. Sebab dalam urusan balasan/ pahala itu rahasia Allah. Siapa tahu justru lebih besar. Wamay yattaqillaha yaj’al lahu makhrojan wayarzuqhu min haitsu la yahtashib.
- Mulai sekarang dalam urusan niat menolong orang lain jangan ada isitilah “susuganan”. Sebab menolong dengan cara ikhlas demi Allah akan mendapat balasan.
9. Ayat 33 – 35 surah Muhammad tersebut sungguh memberikan motivasi, sugesti bagi kita kaum muslimin untuk berjihad (dalam segala konteks) menghadapi musuh-musuh mereka (kemalasan, kemiskinan, kebodohan, kemunkarotan) tanpa rasa rendah diri dan gentar. Orang mukmin bukan kaum hina dan rendahan.

Kandungan Hukum
10. Wala tubthilu a'malakum manunjukkan bahwa jika seseorang sudah memasuki amal “qurbah” (tqarub, mendekatkan diri kepada Allah) tidak boleh membatalkannya sebelum selesai dengan tuntas. Tentang kedudukan hukum masalah ini ada dua pendapat :
a. Imam Syafi’i dan Hambali : seseorang boleh mambtalkan amalan yang hukumnya sunat saja. Kecuali shalat dan shaum (sunnat) disunatkan menuntaskannya.
b. Imam Hanafi dan Maliki berpendapat : kalau amalan tersebutdibatalkan maka wajib mengodlonya.
Alasannya
Menurut pendapat pertama : bahwa amalan sunat itu sepenuhnya wewenang pelaku. Justru jika ada pemaksaan untuk sampai menuntaskannya artinya wajib. Allah berfirman :
Ma ‘alal muhsinina min sabilin : “Tidak ada jalan (untuk disiksa) terhadap orang-orang yang berbuat kebaikan. (QS. 9 : 91)
Menurut pendapat kedua, berdasarkan pada sebuah Hadits yang diriwayatkan Imam Abu Dawud dari Siti ‘Aisyah ra. : “Hafshah diberi makanan padahal kami berdua sedang berpuasa lalu kami berdua membatalkan puasa kami. Kemudian Rasulullah SAW masuk rumah lalu kami beritahukan : Ya Rasulullah! Sesungguhnya kami diberi hadiah sedang kami sangat berselera karena itu kami membatalkan puasa kami. Maka Rasulullah SAW bersabda : “Tidak apa-apa, hanya hendaknya kalian mengganti puasa itu di hari lain”
Tarjih Penulis :
Lebih cenderung pada pendapat kedua. Sebab meskipun amalan sunnat itu wewenang yang mengerjakannya. Akan tetapi jika sebuah amal sudah memasuki tahap pelaksanaan berarti sudah terikat pada perjanjian, dan janji harus ditepati. Selain itu takut-takut menjadi landasan yang dijadikan alasan orang-orang yang main-main dalam ibadah.
11. Fala tahinu wa tad'u ilas salmi “maka janganlah kamu merasa lemah dan minta damai”. Dalam isi pesan ayat ini perlu ditekankan bahwa perdamaian orang mukmin tidak untuk dengan kaum musyrikin. Terutama perdamaian dalam hal aqidah dan keyakinan. Lakum dinukum waliyadin. (Ingat !!! kalimat ini hanya bagi orang musyrik [menyekutukan Allah] bukan sesama orang Islam, sebab ayat ini kadang disalahtafsirkan. Ketika orang malas diajak beramal ia bukannya menurut tapi mengeluarkan kalimat “lakum dinukum waliyadin”)

Tidak ada komentar: