« »
« »
« »
Get this widget

Sabtu, 28 November 2009

Hakikat Kemerdekaan dalam Perspektif Islam


UPAYA MEMAHAMI HAKIKAT KEMERDEKAAN
(Tzdabbur al-Qur’an Surat Saba)
Oleh : Ust. SAEPUDIN, S.Ag.

Surat ke-34 dalam al Qur’an mengandung kisah yang sarat dengan pelajaran bagi kita bangsa Indonesia. Pada surat ini diceritakan tentang negeri Saba yang dianugerahi Allah dengan kesuburan yang luar biasa. Di negeri ini sejarah mencatat adanya kemajuan ilmu dan teknologi manusia dalam bidang konstruksi bendungan. Maka bedirilah sebuah bendungan kokoh yang berfungsi sebagai irigasi di negeri Saba. Bendungan tersebut dikenal dengan bendungan Ma’rib.
Dalam ayat 15 surat Saba’ digambarkan betapa suburnya negeri Saba’ sehingga kebun-kebun tampak hijau tumbuh-tumbuhan yang dihiasi bunga warna warni, buah-buahan yang menggantung di pohon menambah indahnya perkebunan. Warga masyarakat di negeri ini hidup berkemakmuran, aman tenteram dan sejahtera. Namun hal ini amat disayangkan, pada ayat 16 Surat Saba’ dikatakan bahwa mereka berpaling dari nikmat Allah, maka dengan kekuasaan-Nya, bendungan Ma’rib yang dibangun oleh kaum Saba’ dalam jangka waktu bertahun-tahun akhirnya “dihancurkan” oleh Allah dalam waktu yang amat singkat. Bendungan tersebut hancur berantakan, kabun-kebun yang tadinya menghasilkan buah-buahan dengan berbagai cita rasa dan aroma sedap. Kini diganti dengan pohon atsl dan pohon sidr, rasanya pahit, warna dan aromanya menjijikan.
Perhatikanlah negeri kita tercinta, bentangan kepulauan nusantara, negeri Indonesia yang lengkap dengan sumber daya alamnya. Negara kepulauan yang beriklim tropis, dilalui garis equator dengan curah hujan dan ketersediaan sinar surya ultra violet yang sangat seimbang. Kandungan mineral dalam perut bumi, keanekaragaman habitat flora dan fauna, gunung-gunung yang memberikan keseimbangan iklim cuaca, angin dan sumber air, semuanya amat sempurna dan lengkap.
Maka adalah amat ironis, jika konon dilaporkan bahwa 30 juta orang (atau lebih) penduduk bangsa kita masih dikategorikan penduduk yang miskin. Bangsa kita sesekali mengimpor beras dari negeri tetangga. Bahkan ada komoditas pertanian yang masuk dalam sembako, yang bahan utamanya praktis tidak ada di negeri yang “subur makmur” ini. Komoditas itu adalah terigu dan kedele. Untuk memenuhi kebutuhan komoditas ini bangsa kita masih harus mengimpor jutaan ton perhari dari Amerika dan Australia.
Perkebunan sawit di pulau Sumatera dan Kalimantan sebagaian besar sudah di-privatisasi. Dimiliki oleh konglomerat asing, orang Indonesia hanya punya hak mengaku atas tanahnya saja dan berkewajiban membayar PBB-nya, sementara hasil kebunnya diambil oleh investor Malaysia dan Singaphura. Penduduk kita tinggal “menikmati” mahalnya harga minyak goreng, padahal sumber CVO-nya dari kebun kita.
Pertambangan gas terbesar di dunia ada di negeri kita, PT Arun di NAD, tapi mayoritas sahamnya dimiliki oleh Amerika. Demikian pula pertambangan emas terbesar di dunia PT. Freefort di Papua, sebagaian besar sahamnya dimiliki Amerika. Giliran bangsa kita bercita-cita ingin membuat pertambangan gas sendiri, malah bukan gas yang dihasilkan justru lumpur “Lapindo” yang muncul. Hutan kita di pulau Kalimantan, Sumatera, dan Papua hasilnya hanya dinikmati oleh orang-orang yang hanya memiliki izin HPH. Padahal untuk memulihkan hutan tersebut butuh waktu 350 tahun (sama dengan masa penjajahan Belanda).
Apa hubungannya dengan negeri Saba’ ?
Kita ini sangat sadar, bahwa negara Indonesia sebagai bangsa yang mayoritas berpenduduk muslim sangat sombong kepada Allah. Segala titah Allah selalu dinomor-duakan, baik ibadah mahdloh maupun ibadah ghoir mahdloh. Kita lalai dalam sholat, lalai membayar zakat, memutus silaturrhmi, tidak berani mencegah maksiat, kemunafikan di mana-mana, berbuat dosa tanpa rasa malu dan takut. Dan banyak contoh lainnya, bukankah itu semua telah kufur dari nikmat Allah. Jika indikasi kufur nikmat ini sudah tampak nyata di depan mata kita, maka nyata bahwa adzab Allah sudah melanda negeri ini. Buktinya, kita sering memakan buah “atsl” dan buah “sidr” yang rasanya pahit. Simbol ini artinya bahwa bangsa kita hanya bisa makan, berpakaian, berkendaraan, bersekolah, bikin rumah, dsb. Semuanya itu dari uang “pahit”, hasil ngutang dan kredit ke bank.

Tidak ada komentar: